Dalam keadaan tertentu akibat pengaruh hormone wanita tidak mengalami ovulasi (anovulasi). Untuk mengetahui ovulasi terjadi atau tidak dapat dilakukan dengan cara: mengukur suhu basal tubuh (BBT), test kit predictor ovulasi dan USG transvaginal.
Untuk membuat ovulasi timbul dokter kandungan akan memberi ’obat penyubur’ yang sebetulnya lebih tepat obat pemicu ovulasi. Yang paling sering dipakai adalah Chlomiphene Citrate (© ofertil,© blesifen ). Chlomiphene merupakan suatu obat anti-estrogen, dasar pemberiannya: anovulasi adalah akibat tingginya kadar estrogen. Obat ini membantu otak menstimulasi indung telur. Obat 'penyubur lain' seperti vitamin E (merknya macem2 nama belakangnya sering -erol), vitamin C atau asthin force (soho) merupakan anti-oksidan yang sifatnya hanya menunjang saja.
Biasanya diberikan dokter selama 5 hari dengan dosis 1 x 50 mg, mulai dimakan saat hari ke 3 haid atau hari ke 3 perdarahan lucut (withdrawal bleeding) setelah pemberian progesterone. Sekitar hari ke 10, dilakukan pendeteksian ovulasi dengan USG transvaginal untuk melihat tanda ovulasi. Jika terjadi perkembangan sel telur maka ovulasi akan segera terjadi. Hari tepatnya ovulasi dapat dideteksi dengan tes kit ovulasi.
Jika pemberian Chlomiphene dengan dosis 50 tidak berhasil dapat diulangi lagi pada bulan berikutnya dengan dosis yang sama atau ada yang memakai cara menaikkan dosis 2-3 kali lipat (100-150mg) perhari dalam dosis tunggal (=sekali makan) juga selama 5 hari.
Jika ternyata resisten (nggak mempan), dapat diberikan injeksi hormon FSH (Follicel Stimulating Hormon) sintetis. Dosis pemberian dinaikkan secara bertahap sampai terlihat respon adanya perkembangan sel telur (folikel).